Tuhan, aku pernah
memilih dia untuk jadi yang terbaik.
Aku berjuang melawan segala
hal yang menghalangi kebersamaan kami.
Dari awal hingga detik
ini, aku tidak pernah ragu untuk merendahkan diri.
Mungkin ini salah, karna
aku bukanlah Engkau Yang Maha Penentu Kehidupan.
Tapi Tuhan, bukankah Kau
tau seberapa besar jurang dihadapanku yang harus ku lompati hanya untuk
mendapatkannya? Menjadi kawan terburuk dimata banyak orang kala itu.
Aku berjanji dalam hati
untuk selalu menjaga dan menggenggam dia dihadapan mereka yang mengenalku
buruk, agar aku tidak menjadi pecundang bodoh yang memecahkan piala kaca itu
setelah memenangkan segalanya.
Kujadikan ia lenganku
yang kuat dan tangguh.
Kutempa dia agar menjadi
intan mahal yang diinginkan semua orang.
Bukankah si pemahat
patung juga seringkali melukai jarinya sendiri? Jika kayu itu bisa bicara
mungkin dia akan menjerit merasakan sakit. Namun si pemahat tetap meneruskan
pekerjaannya. Menciptakan karya bernilai tinggi. Mengubah seonggok kayu yang
belum bernilai menjadi karya cipta luar biasa.
Begitupun aku Tuhan....
Jika "kami"
akan menjadi takdir-Mu, aku ingin memilikinya dalam keadaan sempurna suatu hari
nanti. Meski untuk menjadikannya sempurna harus melukai diriku sendiri.
Tuhan, jika aku harus
menjual intan berhargaku ini, bukan sekarang waktunya.
Aku telah menemukan
pantulan cahaya terindah dari lekuk-lekuk sisinya. Dan aku, masih ingin
memilikinya.
Ingat cerita yang pernah
kubuat ini? http://yhrakitsa.blogspot.com/2009/12/konotasi-hidupku.html
Kau tau? Seberapa
terlukanya aku ketika harus terperosok jatuh?
Lantas setelah Tuhan
mengizinkan aku menjadi pendaki hebat selanjutnya, aku turun dengan mudahnya
meninggalkan puncakku? TIDAK!
Aku berjalan turun dengan
kaki yang penuh luka bekas pendakianku kemarin. Berharap ada yang menolongku
tapi aku sendirian.
Aku berjalan turun
dengan sisa-sisa tenagaku kemudian aku bersembunyi dibalik semak belukar
dipertengahan jalan.
Aku tidak pernah
benar-benar turun. Aku hanya ingin berisitirahat sejenak untuk mengobati lukaku
sendiri. Dan sekarang ketika aku ingin kembali mendaki menemuimu diatas sana angin
kencang menghempaskan aku.
Aku terjungkal dengan
rasa sakit disekujur tubuh.
Maaf jika aku pernah
melukai mu, cinta.
Jika kau gambarkan
dirimu seperti keset yang telah kuinjak-injak, kesetmu itu berduri! Karna
setiap aku menginjakmu, telapak kakiku semakin terluka.
Selama ini mungkin yang
kau lihat hanya wajahku yang tidak lagi dihiasi sinar cinta ketika memandangmu.
Tapi andai kau tau, punggungku ini penuh luka!
Seharusnya aku tidak
lagi mampu berdiri untuk menghampirimu. Sedangkan aku selalu berusaha sekuat
tenaga untuk tetap berdiri tegak. Meskipun kamu, yang kujadikan lengan
terkuatku tak pernah menopangku untuk tetap bertahan.
Setiap kau membalikan
tubuhmu aku terjatuh, sayang.
Apakah sekarang aku
tidak lagi pantas meminta lengan terkuatku untuk menopangku?
Apakah sia-sia segala
daya upayaku untuk menciptamu, lengan terkuatku?
Maaf sayang, mungkin kali
ini aku akan benar-benar terjatuh dan mati.
Penuh luka tanpa ada
lagi sisa tenaga.
Sedangkan engkau lengan
terkuatku akan digunakan untuk merangkul tubuh yang lain.
Dan pohon yang kutanam
dipuncak sana, juga akan meneduhkan tubuh yang lain.
Comments
Post a Comment